Nostalgia Mbah TEDJO SEPOETRO
Cisarua, 14-15 September 2002
Kami catat pada saat Acara HUT Sepoetro dengan nara Sumber Putra dan Putri Mbah Tedjo Sepoetro yang didalamnya ada sedikit cerita pribadi dari Pak Hari Hartono.
Catatan dari Pak Hari Hartono
Mbah Tedjo lahir di Kraton – Pasuruan arah Bangil, di halaman rumahnya terdapat banyak pohon mangga, Beliau bersekolah di Pasuruan.
Menikah dengan Mbah Tedjo Putri asal dari Malang (Mbah Putri bersaudara 2 orang – kakaknya Mbah Tajib)
Lulus dari sekolah guru (HIK – zaman Belanda).
(Catatan: Pada saat itu ada 3 jenis sekolah yaitu QUICK bisa untuk mengajar kelas 1-3 , HIK bisa untuk semua kelas dan HIS bisa mencapai jabatan Kepala Sekolah)
Kemudian menjadi pegawai BPN (saat ini bernama Pertamina ) di Surabaya.
Keluar dari BPN menjadi guru Taman Siswo (TS), tanpa menerima gaji, karena TS adalah sekolah swasta.
Lulusan sekolah HIK dianggap illegal dan selalu diawasi oleh intel Belanda.
Mendapat tugas untuk mendirikan sekolah TS di desa-desa termasuk di Turen dengan bangku sewaan/dingklik (bangku panjang tanpa sandaran). Kalau malam bangku tersebut untuk tidur.
Murid-murid membayar sekolah dengan hasil tani seperti jagung atau pisang.
Salah satunya mendirikan TS di Turen dengan menyewa tempat dan bangku pinjaman berupa dingklik. Pada waktu malam hari dingklik itu dirapatkan untuk tidur. Pak Hari tidur disitu juga.
Mbah berhasil mendidik guru-guru untuk ditempatkan di Tumpang.
Ibu Soejoto & Pak Hari juga sekolah disitu, dipersiapkan untuk menjadi guru. Termasuk alm. Mbah Santoso yang kemudian menjadi guru di Tumpang.
Pindah ke kota lain yang ada TS-nya, Kepsek nya Bapak Puger yang pada saat mengajar tidak memakai alas kaki, pakai kain (jarig) dan membawa tempe goreng disakunya.
Setelah itu Pak Hari tidak mengikuti perkembangan cerita karena pindah ke Situbondo ikut Mbah Thayib dan sekolah di HIS
Pada zaman Jepang, Mbah Tedjo pindah ke Malang dan mengajar di Sekolah Rakyat (SR) – menjadi pegawai negri. Kemudian mengajar SMP di Pasuruan.
Pada waktu Belanda datang, Mbah Tedjo pindah ke Malang, mengajar di SMP PGI (sekarang SMP 2 Kidul Pasar) dan tinggal di Bareng sampai pensiun.
Pesan Mbah Tedjo :
"bila sudah membuat pilihan, jalankan dengan baik dan jujur serta dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya"
Catatan dari Ibu Dojo
Selama di Pasuruan yang ikut adalah Ibu Roto, Pak Bambang dan Ibu Nungki.
Ibu & Bapak Dojo menikah pada tahun 1950. Mbah Tedjo berdua masih sehat.
Mbah Tedjo Kakung sakit dan meninggal di Turen.
Beliau berpesan :
"Tetap rukun sesama saudara tanpa membedakan kekayaan dan berharap agar semua anak & cucu dapat hidup bahagia"
Catatan dari Pak Midjil
Mbah Tedjo lahir pada tahun 1902.
Pada saat lulus kelas 7 (umur 15 tahun), Mbah Tedjo harus mandiri dan memilih pergerakan melawan penjajah Belanda.
Mbah Tedjo pernah bekerja sebagai pegawai kantor POS
Pada zaman Jepang Mbah Tedjo kerja di Turen, kemudian pindah ke Malang lalu ke Pasuruan.
Di Pasuruan Mbah Tedjo mengajar di SD.
Pada waktu Belanda datang, Mbah Tedjo pindah ke Malang, mengajar di SMP PGI (sekarang menjadi SMP 2 Kidul Pasar) dimana Ibu Midjil juga pernah mengajar disana.
Mbah Tedjo tinggal di Bareng sampai pensiun.
Pak Midjil pada tahun 1951 meninggalkan Malang pindah ke Bandung.
Tahun 1951, Pak Midjil menerima gaji 260 dan uang saku mahasiswa 140. Pada saat itu beliau sempat membelikan ballpoint untuk Mbah Tedjo kakung.
Pada tahun 1956 Mbah Putri meninggal dunia. Ada kekecewaan dari Pak Midjil karena belum berbuat sesuatu untuk Mbah Tedjo putri.
"Peraturan adalah belajar baru bermain"
Mbah Tedjo tidak pernah memaksa anak-anaknya tentang cita-citanya.
Catatan dari Ibu Suci (alm.)
Waktu masih kecil harus tidur siang sama Pak Midjil dan Mbah Tedjo, bila Mbah Tedjo sudah tidur dan mengorok, mereka berdua secara pelan-pelan melarikan diri untuk bermain.
Setiap sore mereka berdua diajak jalan-jalan ke alun-alun sambil digandeng.
Ikut ke Pasuruan bersama Ibu Emi & Ibu Sukesi (keduanya sudah meninggal dunia), Pak Bambang, Ibu Nungki (masih bayi).
Mbah Tedjo putri sangat sabar terhadap anak-anaknya.
Beliau menderita sakit ashma, mbah Putri meninggal dunia tidak lama setelah Bapak dan Ibu Suroto menikah dan pindah ke Sumatera.
Catatan dari Pak Hari Martono
Mbah Tedjo suka merokok cerutu.
Pernah dihukum oleh Mbah Putri dengan dipoles cabe rawit di bibir karena ikut menyalahkan saudaranya yang sedang bertengkar.